[Foto : Usai Hut Immapa Bali di Auditorium RRI Denpasar, Jl-Melati, Sabtu, 19/5/18] |
Dalam perayaan ini pula, beberapa Sambutan telah disampaikan oleh beberap badan pengurus IMMAPA. Sambutan pertama di sampaikan oleh Josan Kafiar selaku ketua Panitia. Dalam sambutannya menyampaikan bahwa, “kami membentuk panitia perayaan ini, pada satu bulan yang lalu. Sebagai manusia biasa kami sempat berfikir bahwa kegiatan ini tidak akan mungkin terlaksana. Namun, karena dengan perlindungan Tuhan, maka perayaan ini terlaksana dengan baik. Dan juga karena hal yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Tuhan”.
Sementara itu, sambutan kedua disampaikan oleh Febrian Raimond Lokbere selaku ketua IMMAPA - Bali. Dalam sambutannya dia menyampaikan bahwa melalui perayaan ini, marilah kita melestarikan budaya kita yang ada di tujuh wilayah adat, yakni Mee Pago, Laa Pago, Saireri, Mamta, Bomberai, Domberai dan Ha’anim. Agar, budaya kita tidak punah dan anak cucu kita tidak belajar sebatas teori semata kelak “ajaknya.
Dan sambutan yang terakhir disampaikan oleh George A. Rumpaidus, S. St. Par selaku Pembina IMMAPA. Dia menyampaikan sambutan yang agak panjang lebar, sehingga media ini hanya dipetik separuh dari sambutannya yang yang telah disampaikan, yaitu hanya sepintas sejarah berdirinya organisasi ini. Jadi, katanya , “ organisasi ini di bentuk pada 19 Mei 1991 dengan nama organisasi yakni Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Irian Jaya "IPMANIRJA". Dan kemudian, dirubah lagi menjadi Ikatan Masyarakat dan Mahasiswa Papua "IMMAPA".Sehingga kali ini kita rayakan yang ke - 27 tahun. Dia pun berharap agar melalui organisasi besar ini, melahirkan pemimpin-pemimpin papua yang mampu mengubah kehidupan di papua dengan melandaskan kebudayaannya”.
Seusai sambutan-sambutannya, acara tersebut langsung di isi dengan kesenian dan tari – tarian tradisional dari ketujuh wilayah adat yang ada di Papua. Salah satu diantaranya adalah tarian drama yang dipentaskan dari wilayah adat “Mee Pago”, tentang masalah batas Tanah/Lokasi atau dalam bahasa Mee biasa disebut dengan kata “Mudeemogee”. Dimana yang menjadi aktor – aktor utama dalam drama tersebut adalah “weyabii”, bapanya Yesaya dan “Naidituma”, bapanya Melki. Dan Alpius melakoni sebagai Kepala suku untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara kedua belah pihak. Untuk itu, drama yang kami telah bawakan adalah di bawah ini :
Pada zaman dahulu, ada dua bersaudara, yakni “Naiditumaa & Weyabii”, mereka berdua hidup rukun dan damai di suatu kampung dengan batas lokasi yang jelas berdasarkan warisan orang tuanya. Serta, masing - masing mempunyai satu anak laki – laki, yaitu Abeth anaknya “Naidituma & Alpius anaknya “weyabii”. Yang seorang di bagian timur dan seorang lagi di bagian barat dengan menananm suatu tanaman alias “Daagu”, sebagai batas kedua lokasinya. Agar, tidak menyebabkan suatu persoalan berupa pencurian tanah dan hal lainnya.
Namun, pada suatu kali, pada generasi Alpius & Abeth, terjadilah suatu persoalan besar akibat si Abeth mencuri separu lokasi dari Alpius. Padahal, batas lokasinya sudah dibagi dan dipatok dengan tanaman “ Daagu”. Keesokan harinya, pagi – pagi buta Alpius beserta keluarganya pergi ke kebun. Sesampainya, di kebun sambil mamantau di sekeliling lokasinya. Begitu, melihat batas lokasinya, bahwa ada sebagian lokasi yang dicuri oleh Abeth.
Nah, seketika itu pula, si Alpius terkejut, emosi, dan berteriak dengan menggunakan bahasa daerah : “Ououououou, Naituma Yokakii Kaiyaooo, Muude Amoomote-Moote Titogee Koukoo, Aawegaipageee”.
Begitu, pulang dari kebun dalam keadaan gusar, memanggil sambil berteriak, bahwa : “Naidituma Yokakii Yuwegee Kipakoo Awegaikokaa Meeeeeee.......10 X...!
Di kala itu, juga si Abeth mendengar apa yang di teriak oleh si Alpius, dia keluar dari rumahnya dalam keadaan emosi yang sangat parah sambil berteriak pula, bahwa :
“Maagiyoooo Peukegaoooo, Weyabii Yokaoooo.......?.....2x
Ketika, si Abeth lari datang sambil membawa anak panah beserta keluarganya, kemudian baku panah serta baku pukul dengan si Alpius dan keluarnya pula.
Sementara, konflik sedang berlansung ramai di antara kedua belah pihak dan konfliknya semakin parah, maka datanglah seorang kepala suku, yaitu Bapak, Natalis. Kedatangan seorang kepala suku untuk memecahkan persoalan tersebut. Dan ketika kepala suku memecahkan masalah itu, maka berdamailah mereka lalu diiringi dengan nyanyian tradisional, yaitu :
“Wooiye – Aoiyee, Wooiye – Aoiyee, Wooiye – Aoiyeeee”.
Bukan hanya itu saja, tetapi dalam perayaan itu diiringi dengan berbagai kegiatan lain yang bermanfaat bagi kehidupan generasi muda Papua yang hendak kita terapkan dalam realita hidup. Tanpa memandang perbedaan diantara kita, entah dari sudut pandang kebudayaan, keagamaan dan hal lainnya. Namun, perbedaan merupakan suatu keunikan yang layak kita puja dan puji serta bersyukur kepada Tuhan Allah Bangsa Papua yang menempatkan kita di tanah Papua yang begitu kaya raya dengan segala isinya. Karena Tanah Papua merupakan taman eden yang diberkati oleh Allah namun diselibkan –Nya karena perbuatan manusia yang membuat Allah tidak berkenan.
Demikian pikiran sepintas HUT IMMAPA-BALI, semoga apa yang dituliskan oleh penulis dapat bermanfaat bagi berbagai elemen. Namun, pepatah mengatakan bahwa tiada gading yang tak retak. Penulis juga menyadari bahwa dari sekilas tulisan ini sangat jauh kurang sempurna. untuk itu, saya mohon agar dapat memberikan saran, kritik, dan ide/ pendapat serta masukan yang dapat membangun demi menyempurnakan karya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan"